Angka penunjuk waktu pada smartphone saya sudah menunjukkan pukul 12.20 menit. 11 menit lagi, tepat pukul 12.31 waktu shalat akan segera tiba.
Seperti biasa 4 hari pertama setiap minggu, Senin sampai Kamis, Anak-anak tampak mulai bersiap-siap mengikuti kegiatan shalat berjamaah sebelum pulang sekolah. Beberapa siswa mengambil air wudhu pada kran yang tersedia di depan ruang kelas masing-masing. Siswa perempuan terlihat menenteng mukenah. Siswa laki-laki beberapa di antaranya mondar mandir berkalung sarung.
Sejumlah siswa bergerombol berjalan menuju masjid di seberang jalan kampung. Masjid berlantai dua itu menjadi pusat ibadah masyarakat setempat. Fasilitas itulah yang dimanfaatkan sekolah untuk melakukan kegiatan shalat berjamaah sebagai salah satu program sekolah.
Ini yang disebut peluang, memanfaatkan sebuah kemungkinan yang berada di lingkup eksternal. Di samping tidak ada fasilitas ibadah, masjid yang berdekatan dengan sekolah itu juga menjadi alternatif paling tepat untuk melaksanakan shalat. Lagi pula kalau ada sarana ibadah yang dapat dimanfaatkan untuk apa membuat sarana ibadah lain. Apalagi takmir masjid dan tokoh masyarakat setempat juga mendukung kegiatan tersebut.
Sejak awal kegiatan dilakukan, takmir masjid berharap sekolah tetap dapat melaksanakan shalat di masjid. "Soalnya masjid sepi," katanya berargumen.
Sebagian masjid memang kondisinya seperti itu. Begitulah keadaan masyarakat di banyak tempat. Mereka tidak segan-segan menghabiskan energi dan biaya yang besar untuk membangun masjid. Akan tetapi, masjid itu sepi setiap waktu. Suara adzan menggelegar saban kali waktu shalat tiba, tetapi hanya 2-3 orang saja yang rajin hadir memenuhi panggilan shalat itu.
Saat membangun masjid, orang-orang rela meninggalkan pekerjaan lain untuk ikut bergotong royong. Tetapi ketika masjid itu sudah berdiri dengan megah, saat waktu shalat tiba hanya 2-3 orang saja makmum yang berdiri di belakang imam. Yang datangpun sudah renta pula. Mereka yang dulu tidak pernah absen saat pembangunan masjid seakan hilang ditelan anaconda saat azan berkumandang.
Sudah menjadi pengetahuan umum bagi umat muslim, shalat berjamaah merupakan salah satu pilar ibadah terpenting. Banyak dalil yang memberikan penjelasan tentang keutamaan shalat berjamaah. Sebuah hadist populer dalam konteks ibadah shalat itu sendiri, misalnya, menyebutkan bahwa keutamaan shalat lebih baik 27 derajat daripada shalat sendiri.
Banyak sekolah memilih shalat berjamaah menjadi salah satu aktivitas rutin di sekolah. Tidak saja shalat wajib tetapi juga shalat sunnah. Shalat berjamaah dapat menjadi salah satu instrumen yang dapat dilakukan dalam rangka penguatan Profil Pelajar Pancasila.
Sebagian sekolah masih menganggap bahwa Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila identik dengan sebuah aktivitas yang menghasilkan produk material. Projek penguatan profil pelajar Pancasila lebih dari itu. P5 memiliki esensi bagaimana 6 dimensi dalam profil diatas dapat dikembangkan. Jikapun ada produk material yang dihasilkan itu merupakan bonus.
Sebagaimana dipahami bahwa dimensi profil Pelajar Pancasila itu terdiri dari 1) Beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia; 2) Mandiri; 3) Bergotong-royong; 4) Berkebhinekaan global; 5) Bernalar kritis; dan 6) Kreatif.
Apa saja dimensi profil pelajar Pancasila yang dapat dikembangkan melalui shalat berjamaah?
Dimensi paling utama yang dapat ditumbuhkan melalui shalat berjamaah adalah beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Ini merupakan dimensi pertama dalam profil Pelajar Pancasila. Pada dimensi ini, terdapat elemen yang menjadi sasaran pengembangan yaitu, pembentukan akhlak yang terdiri dari akhlak beragama, akhlak pribadi, akhlak kepada manusia, akhlak kepada alam, dan akhlak bernegara. Melalui shalat berjamaah diharapkan terbentuknya akhlak beragama, akhlak pribadi, dan akhlak kepada sesama manusia (akhlak sosial).
Pertama, akhlak beragama, sebuah elemen yang merujuk kepada sebuah kesadaran bagaimana seseorang mengenal sifat-sifat tuhan dan menghayati bahwa esensi sifat-sifat Tuhan adalah kasih sayang tanpa batas. Untuk mencapai kesadaran ini bagi seorang muslim dapat dicapai melalui ibadah shalat. Hal inilah yang ingin ditumbuhkan pada siswa melalui shalat berjamaah.
Kedua, akhlak pribadi, sebuah kesadaran seorang pelajar untuk senantiasa menjaga kesejahteraan dirinya. Kesejahteraan diri dapat diartikan sebagai suatu titik dimana peserta didik dalam kondisi mood positif, memiliki sifat, ketahanan dan kepuasan diri yang kuat, merasa aman, nyaman, dan memiliki kesehatan mental yang baik. Siswa memiliki kendali atas dirinya untuk memilih tindakan-tindakan yang patut atau tidak patut dilakukan.
Shalat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. (al Ankabut: 45)
Salah satu kesejateraan diri yang patut diperhitungkan dalam shalat berjamaah adalah disiplin. Dalam baris-berbaris dikenal terdapat peraturan yang harus dipatuhi, peserta bergerak sesuai dengan aba-aba pemimpin barisan.
Hal serupa juga berlaku dalam shalat berjamaah. Ada aturan di dalamnya yang harus dipatuhi makmum. Makmum tidak boleh melakukan gerakan sendiri tanpa mengikuti gerakan imam. Aturan dalam shalat ini setidaknya menjadi bagian dari penanaman disiplin.
Ke tiga, akhlak sosial, salah elemen penting yang dapat ditumbuhkan melalui shalat berjamaah. Shalat berjamaah menumbuhkan perasaan solidaritas, kepedulian terhadap sesama, kebersamaan. Shalat berjamaah diharapkan dapat menghapus sekat status sosial, menghargai perbedaan karakter, dan membangun nilai-nilai sosial yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Shalat berjamaah memungkinkan seseorang selalu melakukan perjumpaan dengan orang lain. Situasi ini tentu akan mempererat simpul ikatan emosional antar sesama dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, program shalat berjamaah bagi siswa muslim penting untuk tetap dilakukan sebagai upaya mewujudkan Profil Pelajar Pancasila.
Semoga bermanfaat.
Lombok Timur, 31 Januari 2023.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar